NTT, 08/08/2025 |swapnews.co.id – Di tengah hiruk-pikuk berita nasional, sebuah tragedi kemanusiaan dan institusional yang mengguncang nurani publik kini mengemuka dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Prajurit Dua (Prada) Lucky Chepril Saputra Namo, seorang anggota TNI yang baru dua bulan mengabdi, meregang nyawa akibat dugaan penganiayaan brutal oleh para seniornya. Namun, kasus ini bukan sekadar insiden kekerasan di barak militer. Ini adalah sebuah cerminan sistemik yang diperlihatkan secara telanjang melalui pernyataan keras ayahnya, Sersan Mayor (Serma) Christian Namo, yang mengancam akan “membubarkan negara” jika keadilan tidak ditegakkan.
Kematian di Balik Seragam Kebanggaan
Prada Lucky, 23 tahun, meninggal dunia di RSUD Aeramo, Nagekeo, setelah dilarikan dalam kondisi kritis. Menurut laporan dari keluarga dan beberapa saksi, tubuhnya dipenuhi luka memar, sayatan, dan lebam yang mengindikasikan kekerasan parah. Kematian tragis seorang prajurit muda yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarga justru menjadi luka menganga yang memicu amarah publik. Kasus ini kembali menyoroti tradisi “senioritas” yang kerap kali berujung pada kekerasan di lingkungan militer, sebuah praktik yang secara fundamental bertentangan dengan nilai-nilai disiplin dan kehormatan yang dijunjung tinggi TNI.
Pernyataan Ayah yang Mengguncang Fundamen Negara
Sersan Mayor Christian Namo, seorang ayah yang juga prajurit TNI, meluapkan emosinya di hadapan media dan petinggi militer. Pernyataannya tidak sekadar menuntut keadilan, melainkan sebuah makian yang mengguncang pondasi negara. Dengan peti jenazah anaknya yang terbungkus bendera merah putih sebagai latar, Christian Namo menuntut hukuman mati bagi para pelaku. Namun, puncaknya adalah ketika ia secara eksplisit mengancam: “Kalau sempat tidak dapat keadilan, Indonesia bubar, merah putih bakar aja, bubarkan negara.” Pernyataan ini bukan semata-mata amarah personal, tetapi sebuah kritik tajam terhadap sistem hukum dan institusi militer yang dianggapnya gagal melindungi putranya. Seorang prajurit yang seharusnya menjaga kedaulatan negara kini justru mempertanyakan eksistensi negara itu sendiri, sebuah paradoks yang menusuk jantung nasionalisme.
Dilema Institusi dan Tuntutan Keadilan
Pihak TNI, melalui Polisi Militer (POM), telah bergerak cepat dengan menangkap empat prajurit yang diduga terlibat. Pangdam IX/Udayana bahkan menegaskan bahwa investigasi akan dilakukan secara transparan. Namun, janji transparansi ini dihadapkan pada skeptisisme publik, yang seringkali melihat kasus-kasus serupa berakhir dengan sanksi internal yang dianggap tidak setimpal. Pernyataan ayah Prada Lucky yang mengancam akan menempuh jalur “hak asasi saya sebagai manusia” menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap mekanisme internal militer. Kasus ini menjadi ujian berat bagi TNI untuk membuktikan bahwa mereka mampu menindak tegas pelanggaran di internalnya dan tidak akan melindungi pelaku kekerasan, terlepas dari pangkat atau jabatan.
Tragedi Prada Lucky adalah sebuah kaca benggala yang memperlihatkan kerentanan institusi negara. Di satu sisi, ada pengorbanan seorang anak muda yang tewas di tangan sesama prajurit; di sisi lain, ada jeritan seorang ayah prajurit yang meragukan integritas institusi yang telah ia bela seumur hidupnya. Kasus ini membuka diskusi mendalam tentang reformasi militer, budaya kekerasan, dan sejauh mana sistem hukum mampu berdiri tegak di atas kepentingan institusional.
(F/S)