Jawa Barat, Minggu,20/07/2025 Swapnews.co.id – Sebuah pengakuan memilukan datang dari seorang remaja yang mengaku menjadi korban pencabulan oleh seorang pendeta berinisial Pdt KBIH dari Gereja JKIM Kota Blitar. Dalam video yang beredar luas, korban secara gamblang menjelaskan bahwa pelecehan seksual yang dialaminya berlangsung sistematis selama dua tahun, dari Februari 2022 hingga Maret 2024, di berbagai tempat mulai dari kantor gereja, kamar pribadi, hingga hotel-hotel di luar kota.
Korban kini hidup terlantar bersama keluarganya di wilayah Jawa Barat. Mereka mengaku harus bersembunyi karena mendapat ancaman dari orang-orang yang diduga merupakan suruhan dari pelaku. Dalam narasinya, remaja tersebut memohon keadilan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar mereka mendapat perlindungan dan pendidikan yang layak.
Korban bahkan mengklaim pernah dipaksa berdamai oleh pihak gereja setelah melapor ke aparat setempat. Sang ayah yang menemani pelaporan justru didatangi oleh staf gereja dan diajak “negosiasi” dalam bentuk jamuan makan. Upaya pelaporan sempat dibantu oleh seorang pendeta lain bernama Agus Ibrahim, yang membawa keluarga korban ke Jakarta untuk melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri. Namun, laporan tersebut disebut dialihkan ke Polda Jawa Timur.
Pengakuan korban memperinci lokasi-lokasi pencabulan secara rinci, termasuk kolam renang gereja, kantor gereja, villa, hingga hotel-hotel di Wonogiri dan Sarangan. Bahkan disebutkan bahwa pelaku menggunakan mobil jenis Innova warna hitam dengan pelat AG 1 9 13 X saat membawa korban ke lokasi kejadian.
Ironisnya, setelah pelaporan ke pihak kepolisian, proses hukum disebut tidak berjalan mulus. Kasus sempat ditunda di Polres Kota Blitar, dan hingga berita ini diturunkan belum ada kejelasan penanganan kasus.
Yang lebih mengerikan, dua adik korban juga menyatakan mengalami pelecehan serupa. “Semoga apa yang saya alami tidak terjadi kepada teman-teman,” ujarnya dalam video, sembari memperingatkan agar tidak mudah percaya kepada siapa pun, termasuk tokoh agama.
Pernyataan ini membuka luka dalam masyarakat yang mempercayakan moralitas dan spiritualitas kepada tokoh agama. Ironi menganga ketika tangan yang seharusnya memberkati, justru menjadi simbol pengkhianatan terhadap kesucian dan kemanusiaan.(F/S)