Swapnews.co.id – Setelah Charlie Kirk tewas ditembak pada 10 September 2025 di Utah Valley University, media sosial Amerika dipenuhi pro dan kontra. Bagi pendukung, Kirk adalah simbol perjuangan konservatif; bagi sebagian lain, ia figur yang kerap memicu kontroversi. Namun ekspresi kegembiraan atas kematiannya ternyata membawa konsekuensi serius.
Laporan dari berbagai media arus utama menyebut sedikitnya selusin orang (≥12) dipecat, ditangguhkan, atau disanksi oleh pemberi kerja mereka. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah, seiring maraknya kampanye “naming and shaming” yang menyebarkan tangkapan layar komentar kontroversial ke publik.
Beberapa kasus yang telah terverifikasi antara lain:
Middle Tennessee State University memecat seorang associate dean, Laura Sosh-Lightsy, setelah unggahannya di Facebook dianggap “tidak berperikemanusiaan”.
Carolina Panthers, klub NFL, mengeluarkan seorang staf komunikasi karena posting yang mengejek kematian Kirk.
Nasdaq, bursa saham global, mengumumkan pemecatan karyawan juniornya akibat pelanggaran kebijakan media sosial yang melarang dukungan terhadap kekerasan.
University of Mississippi juga memutus hubungan kerja dengan seorang staf yang menulis komentar sarkastis tentang Kirk.
MSNBC memberhentikan analis Matthew Dowd setelah komentar on-air yang dipandang tidak pantas.
Selain itu, terdapat laporan dari instansi pemerintah, sekolah, hingga lembaga publik lain yang menempatkan pegawai pada cuti administratif atau dalam penyelidikan karena komentar serupa.
Pemberi kerja umumnya berdalih bahwa keputusan diambil demi menjaga reputasi institusi dan kepatuhan pada kebijakan internal. Faktor eksternal juga turut berperan: posting-posting yang dianggap merayakan kematian Kirk dengan cepat di-amplifikasi akun besar di X (Twitter), menimbulkan tekanan publik untuk menjatuhkan sanksi.
Meski demikian, langkah pemecatan ini juga menuai perdebatan. Para pakar hukum menekankan adanya perbedaan konteks antara pegawai swasta dan pegawai negeri. Dalam sektor swasta, status “at-will employment” membuat perusahaan lebih mudah memberhentikan karyawan. Sebaliknya, pada sektor publik, muncul perdebatan apakah tindakan ini melanggar kebebasan berbicara yang dijamin Konstitusi AS.
Selain kehilangan pekerjaan, sejumlah individu yang diidentifikasi melalui kampanye daring dilaporkan menerima ancaman dan intimidasi. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana tragedi politik dapat melebar menjadi konflik sosial dan digital dengan konsekuensi pribadi yang berat.
Hingga kini, daftar kasus masih berkembang. Media Amerika menyebut jumlah orang yang terkena dampak bisa mencapai “puluhan” jika gelombang pemecatan dan suspensi terus berlanjut.
(P/A)