Jakarta | swapnews.co.id – Sebuah analisis mendalam dari kanal YouTube “RJL 5 – Fajar Aditya” mengungkap potensi ancaman dan intervensi asing yang mengintai Indonesia di tengah persaingan dua poros kekuatan dunia. Dalam sebuah diskusi dengan ahli terorisme dan keamanan internasional, Ulta Levina, terungkap bahwa Indonesia, khususnya posisi menteri luar negeri, menjadi target di tengah gejolak global.
Di tengah riuhnya demonstrasi global yang melanda berbagai negara, mulai dari Nepal, Inggris, Prancis, hingga Timor Leste, sebuah analisis tajam dari ahli terorisme dan keamanan internasional, Ulta Levina, mengemukakan kekhawatiran serius terhadap posisi Indonesia di kancah geopolitik dunia. Dalam perbincangan eksklusif di kanal YouTube RJL 5 – Fajar Aditya [00:00], Levina menyebutkan bahwa Indonesia, dengan posisinya yang strategis, menjadi “seksi” bagi dua poros kekuatan besar dunia: aliansi Barat pimpinan Amerika Serikat dan blok timur yang dihuni Tiongkok dan Rusia.
Target di Balik Layar: Menlu dan Presiden dalam Bidikan Asing?
Pernyataan Ulta Levina yang paling mengejutkan adalah indikasi bahwa posisi penting di pemerintahan Indonesia, termasuk Menteri Luar Negeri, telah menjadi target intervensi asing [27:43]. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari posisi Menlu sebagai “anak ideologis” Presiden Prabowo, yang berarti akan melanjutkan cara berpikir dan gerakan sang Presiden. Jika target pertama mereka adalah Presiden sendiri, maka orang kepercayaan Presiden menjadi target berikutnya. “Ada semacam desain lah, ada yang merancang,” ujar Levina [18:22], mengindikasikan bahwa gejolak yang terjadi mungkin bukan sekadar gerakan organik.
Taktik “Color Revolution” dan Operasi Intelijen Murah Meriah
Levina menjelaskan fenomena demonstrasi serentak di berbagai negara dapat dianalisis melalui teori realisme dalam ilmu politik internasional [03:01]. Ia secara spesifik menyoroti konsep “offensive realism” di mana negara-negara besar akan terus berusaha melindungi kepentingannya dan menjaga kekuatannya di berbagai negara [05:06]. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah cara asing beroperasi melalui “Color Revolution” atau revolusi warna, sebuah istilah lain untuk operasi CIA yang bertujuan menjatuhkan rezim [37:05].
“Ini adalah cara paling murah, cost effective, untuk menggulingkan pemerintah,” tegas Levina [08:20]. Berbeda dengan invasi militer yang menghabiskan triliunan dolar, operasi intelijen melalui NGO atau manipulasi narasi di media sosial jauh lebih efektif dan sulit ditunjuk pelakunya [07:46]. Kasus Nepal, di mana kerusuhan dan pengunduran diri pemimpin disebut-sebut diwarnai intervensi AS, menjadi contoh nyata [07:03].
Indonesia di Tengah Badai Geopolitik: Antara BRICS dan Aliansi Barat
Indonesia, dengan jumlah penduduk 286 juta jiwa, merupakan pasar yang sangat menarik. Kedekatan Indonesia dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) dan pendekatannya terhadap Tiongkok dalam program Belt and Road Initiative (seperti proyek kereta cepat) telah memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat, khususnya AS [29:36].
Levina menyebutkan bahwa AS melihat Indonesia sebagai negara yang “seharusnya lebih pro ke gue” [30:06].
Keuntungan bergabung dengan BRICS, salah satunya adalah potensi pembangunan bank yang menyaingi IMF, memungkinkan negara anggota mendapatkan dana tanpa syarat yang memberatkan [33:15]. Namun, konsekuensinya adalah potensi gangguan yang lebih besar dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan orientasi kebijakan luar negeri Indonesia.
Propaganda dan Retaknya Persatuan Internal
Ancaman tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam. Levina menyoroti adanya upaya sistematis untuk melemahkan TNI, membenturkannya dengan Polri, bahkan dengan rakyat [52:56]. “Propaganda-propaganda itu kenapa terus dilakukan?” tanyanya [53:38], mengacu pada narasi-narasi yang berpotensi memecah belah persatuan. Ia juga mengakui adanya “retak-retak” atau “bolong-bolong” di dalam pemerintahan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing [43:30].
Mencegah Perang Dunia III: Waspada dan Siap Siaga
Pertanyaan krusial adalah apakah Perang Dunia III akan meletus sebentar lagi. Levina memprediksi Laut Cina Selatan sebagai titik awal potensi konflik besar tersebut [49:50]. Jika Tiongkok berusaha mereunifikasi Taiwan secara militer, AS kemungkinan besar akan bereaksi, dan Laut Cina Selatan menjadi arena yang paling mungkin [47:39]. Dampaknya terhadap Indonesia akan sangat besar, terutama dengan keberadaan sekitar 300.000 warga negara Indonesia di Taiwan [48:41].
Untuk menghadapi ancaman ini, Indonesia harus terus memperkuat pertahanan dan intelijen. Pembelian alutsista baru dan revitalisasi sistem pertahanan menjadi langkah penting [52:19]. Namun, yang terpenting adalah kesadaran masyarakat akan skema-skema destabilisasi dan pentingnya menjaga persatuan.
Sumber:
* Video YouTube “INDONESIA DIANTARA 2 POROS KEKUATAN DUNIA! PRESIDEN KITA DITARGET TIDAK LAMA?? ULTA LEVINA BICARA!” dari kanal RJL 5 – Fajar Aditya