Menu

Mode Gelap

Entertainment · 20 Sep 2025 WIB

Peter Tosh: Legenda Reggae yang Dibungkam Konspirasi, Rahasia Hidup dan Kematian yang Ditutup Media Dunia


					Rahasia gelap Peter Tosh, kematian penuh konspirasi, dan sisi kehidupan yang disembunyikan media global Perbesar

Rahasia gelap Peter Tosh, kematian penuh konspirasi, dan sisi kehidupan yang disembunyikan media global

Swapnews.co.id_Nama Peter Tosh mungkin tidak setenar Bob Marley di mata publik internasional, tetapi bagi mereka yang mengenal sejarah reggae sejati, Tosh adalah “suara perlawanan” yang tidak bisa dibungkam. Sayangnya, sebagian besar media dunia hanya menampilkan sisi dangkal kehidupannya, sementara fakta-fakta kelam dan rahasia yang mengitari hidup serta kematiannya nyaris tenggelam dalam kabut konspirasi.

Dari Kemiskinan Menuju Revolusi Musik

Lahir sebagai Winston Hubert McIntosh pada 19 Oktober 1944 di Westmoreland, Jamaika, Tosh tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Ia belajar musik secara otodidak, menjadikan gitar dan harmonika sebagai sahabat setianya. Bersama Bob Marley dan Bunny Wailer, ia mendirikan The Wailers, kelompok yang kemudian mendunia.

Namun Tosh bukan sekadar musisi. Ia adalah seorang revolusioner, berani melawan arus, bahkan jika itu berarti bertentangan dengan label besar atau politisi berkuasa.

Rivalitas Rahasia dengan Bob Marley

Media internasional cenderung menggambarkan Marley sebagai ikon perdamaian, sementara Tosh dikesampingkan. Faktanya, Tosh kerap menuduh Marley “terlalu jinak” terhadap industri musik Barat. Tosh percaya bahwa pesan radikal mereka dilunakkan agar bisa dipasarkan ke dunia.

Sumber-sumber internal The Wailers menyebut bahwa ketegangan ini membuat Tosh sering terpinggirkan dalam keputusan musik. Hal inilah yang akhirnya mendorongnya keluar pada tahun 1974 untuk memulai jalannya sendiri.

Musisi atau Dukun?

Jarang diketahui publik, Tosh mendalami tradisi spiritual Afrika dan praktik perdukunan Jamaika. Ia sering melakukan ritual untuk perlindungan diri. Bagi banyak orang, ini dianggap aneh, bahkan berbahaya. Namun bagi Tosh, spiritualitas adalah bagian dari perjuangan melawan “penjajahan mental” yang diwariskan Barat melalui agama Kristen kolonial.

Aktivisme Berbahaya

Album Legalize It (1976) bukan sekadar musik, tapi manifesto politik. Tosh secara terang-terangan menantang hukum internasional soal ganja. Pada 1978, ia mengejutkan dunia ketika dalam One Love Peace Concert, ia menegur politisi Jamaika secara langsung sambil menghisap ganja di atas panggung.

Aksi ini membuat Tosh menjadi target utama polisi Jamaika. Ia berkali-kali dipukuli, ditangkap, bahkan nyaris dibunuh aparat. “Aku tidak takut mati, aku hanya takut hidup tanpa kebebasan,” ujar Tosh dalam salah satu wawancara.

Kematian yang Penuh Misteri

Tanggal 11 September 1987 menjadi akhir tragis bagi Tosh. Ia ditembak mati di rumahnya di Kingston dalam apa yang disebut “perampokan bersenjata.” Namun banyak pihak meragukan versi resmi ini.

Banyak peneliti reggae percaya Tosh dibunuh karena terlalu vokal membongkar korupsi, perdagangan narkoba, dan kedekatan pemerintah Jamaika dengan kekuatan asing, termasuk CIA, pada masa Perang Dingin. Hingga kini, kasus itu masih menyisakan tanda tanya besar: apakah Peter Tosh mati karena kriminal biasa, atau korban konspirasi politik global?

Warisan yang Sengaja Dikecilkan

Album-album seperti Equal Rights (1977), Bush Doctor (1978), dan Mystic Man (1979) tetap menjadi testimoni militansi Tosh. Namun berbeda dengan Marley yang dijadikan ikon dunia, warisan Tosh sengaja dipinggirkan.

Banyak yang percaya hal ini disengaja: Tosh terlalu berbahaya untuk dipasarkan. Musiknya bukan sekadar hiburan, melainkan senjata perlawanan yang bisa mengguncang sistem.


Kesimpulan

Peter Tosh bukan hanya musisi reggae. Ia adalah prajurit revolusi, dukun spiritual, dan martir politik. Sisi kehidupannya yang penuh misteri dan kematiannya yang kontroversial adalah bukti bagaimana seorang seniman bisa dianggap terlalu berbahaya oleh sistem global.

Sampai hari ini, suara Tosh tetap bergema, bukan di panggung besar yang dirayakan media, tetapi di hati mereka yang percaya bahwa musik adalah senjata melawan penindasan.

(P/A)

Artikel ini telah dibaca 17 kali

badge-check

Jurnalis

Baca Lainnya

House of David Season 2: Serial Religi yang Jadi ‘Game of Thrones’-nya Alkitab, Picu Perdebatan Penonton Dunia!

7 Oktober 2025 - 10:07 WIB

House of David Season 2 Prime Video Release Schedule

AI Membunuh Bahasa Pemrograman? Python Bertahan, JavaScript Terpuruk di 2025!

7 Oktober 2025 - 01:58 WIB

Bahasa pemrograman 2025, dominasi Python, kejatuhan JavaScript, dan ancaman AI terhadap coding tradisional.

Bryan Mbeumo: Rekrutan yang Diam-Diam Menyelamatkan Manchester United dari Krisis

7 Oktober 2025 - 00:49 WIB

Pelatih kepala Manchester United asal Portugal, Ruben Amorim

Florian Wirtz dan Kutukan ‘007’: Agen Gagal Liverpool atau Calon Legenda yang Terlambat Panas?

7 Oktober 2025 - 00:26 WIB

Era Baru di Anfield Florian Wirtz, Sang Arsitek Masa Depan Liverpool

Diduga Depresi Usai Dituduh KDRT, Pria di Kotawaringin Timur Ditemukan Tewas Gantung Diri di Rumah

6 Oktober 2025 - 19:12 WIB

Pria gantung diri di Baamang Barat usai dilaporkan KDRT

Pemuda 20 Tahun Asal Singapura Gasak 4.100 Bitcoin! Gaya Hedon, Borong Puluhan Supercar hingga Bikin FBI Geleng Kepala

6 Oktober 2025 - 12:47 WIB

Kasus pencurian 4.100 Bitcoin oleh Malone Lam
Trending di Crypto