Badung- Desa Kutuh, 01/08/2025 | swapnews.co.id – Di saat banyak kota besar masih berkutat dengan polemik dan keterbatasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebuah anomali positif muncul dari Desa Kutuh, Bali. Desa ini tidak hanya mengklaim mampu menuntaskan sampahnya secara mandiri, tetapi juga mengambil langkah radikal dengan mentransformasikan abu sisa pembakaran (residu) dari insinerator—material yang sering kali dihindari—menjadi fondasi harfiah bagi pembangunan desa.

Paving block dari residu insinerator dari desa kituh Bali Indonesia
Inisiatif yang berpusat di TPST Tebo Kauh ini menjadi sebuah disrupsi senyap terhadap model pengelolaan sampah konvensional. Di bawah kepemimpinan Perbekel I Wayan Mudana, S.T., Desa Kutuh secara sistematis membangun sebuah ekosistem mandiri, di mana sampah tidak lagi dipandang sebagai masalah akhir, melainkan sebagai bahan baku awal.
“Komitmen kami adalah sebuah kemandirian absolut. Sampah Desa Kutuh harus selesai di sini, di sumbernya,” ungkap I Wayan Mudana dengan nada tegas. “Dalih ‘tidak ada lahan’ atau ‘membebani TPA’ tidak lagi relevan. Kami membuktikan bahwa dengan teknologi dan kemauan, residu sekalipun bisa menjadi aset.”
Aset yang dimaksud adalah “Papingku” (Paving Block Kutuh). Produk ini lahir dari proses yang terukur secara ilmiah. Residu dari dua unit insinerator “Motah” yang beroperasi diayak, kemudian dicampur dengan formulasi presisi: 11 bagian residu, 5 bagian pasir, dan 3 bagian semen. Melalui mesin press hidrolik, adonan ini dipadatkan menjadi paving block yang siap digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa. Ini adalah manifestasi nyata dari ekonomi sirkular, bukan sekadar jargon dalam seminar.
Langkah berani ini memperoleh legitimasi dari pemerintah tingkat kecamatan. Camat Kuta Selatan, Dr. I Ketut Gede Arta, AP., S.H., M.Si., yang meninjau langsung proses tersebut, menyebutnya sebagai sebuah model yang patut direplikasi.
“Ini melampaui sekadar pengelolaan sampah. Ini adalah tentang rekayasa sosial dan pemberdayaan ekonomi,” ujar Dr. Arta. “Ketika kita bicara sampah tuntas berbasis sumber, Desa Kutuh telah memberikan cetak birunya. Mereka tidak menunggu, mereka menciptakan. Ini adalah validasi bahwa kepemimpinan di tingkat desa mampu menghasilkan inovasi yang solutif dan berkelanjutan.”
Gerakan ini diperkuat oleh partisipasi komunal yang solid. Kelompok pemuda Jegeg Bagus bertindak sebagai katalisator perubahan sosial melalui program edukasi dan gerakan “Mulung” mingguan, memastikan bahwa revolusi pengelolaan sampah ini meresap ke seluruh lapisan masyarakat.
Dengan target menihilkan ketergantungan pada TPA pada September 2025, Desa Kutuh tidak sedang menjual utopia. Mereka sedang membangun sebuah realitas pragmatis di mana TPA mungkin akan benar-benar menjadi sejarah, setidaknya bagi mereka. Pertanyaannya kini bukan lagi “apakah bisa?”, melainkan “siapa yang berani menyusul?”.