Swapnews.co.id_Johannesburg — Nama Lucky Philip Dube kerap disebut sebagai “Bob Marley dari Afrika”. Namun di balik reputasi internasionalnya, sejarah panjang hidup dan kematiannya menyimpan lapisan cerita yang jarang terkuak. Mulai dari sensor rezim apartheid, kontrak dengan label Amerika legendaris, hingga catatan rekaman langka yang sempat hilang dari arsip — semuanya membentuk mozaik yang lebih gelap, lebih kompleks, dan lebih kontroversial daripada sekadar kisah “bintang reggae yang ditembak mati”.
Dari kebun nenek ke panggung dunia
Lahir 3 Agustus 1964 di Ermelo, Mpumalanga, Afrika Selatan, Lucky dibesarkan oleh neneknya dalam kemiskinan. Dari paduan suara sekolah ia melompat ke panggung profesional lewat genre mbaqanga — musik Zulu populer — sebelum kemudian menemukan panggilan jiwanya di reggae.
Langkah awalnya tidak mudah. Album reggae pertamanya, Rastas Never Die (1984), dibanned oleh rezim apartheid karena liriknya dianggap subversif. Ironisnya, larangan itu justru memicu keberaniannya untuk bersuara lebih keras lewat musik. Album berikutnya, Think About the Children (1985), membuka jalan baginya sebagai penyanyi reggae dengan pesan sosial yang menggema.
Reggae sebagai senjata melawan ketidakadilan
Berbeda dengan banyak musisi pop Afrika kala itu, Dube tidak sekadar bernyanyi tentang cinta atau hiburan. Lagu-lagunya seperti Prisoner (1989) atau Victims (1993) menyinggung ketidakadilan sosial, rasisme, korupsi, hingga dampak HIV/AIDS. Ia bernyanyi bukan hanya dalam bahasa Inggris, tetapi juga Zulu dan bahkan Afrikaans — menembus sekat bahasa dan politik.
Seiring waktu, suaranya terdengar di panggung dunia. Tur Eropa, Asia, Amerika, hingga festival reggae Jamaika menjadikannya ikon reggae global yang unik: lahir dari Afrika Selatan yang terbelenggu apartheid, tapi bersuara ke seluruh dunia.
Kontrak Motown: mimpi Afrika yang jarang diberitakan
Pada pertengahan 1990-an, Dube menandatangani kontrak distribusi internasional dengan Tabu/Motown. Bagi industri musik global, ini adalah langkah bersejarah: seorang artis Afrika mendapatkan akses ke label Amerika legendaris yang pernah melahirkan Stevie Wonder dan Marvin Gaye. Namun ironisnya, kisah monumental ini jarang disorot media arus utama. Dunia lebih cepat melabelinya sekadar “peniru Bob Marley” ketimbang mengakui pencapaiannya sebagai pelopor.
Hidup ganda: musisi, aktor, dan ‘Oom Hansie’
Yang lebih sedikit diketahui publik: Dube juga sempat berakting dalam film lokal (Getting Lucky, Lucky Strikes Back) dan merekam lagu dalam bahasa Afrikaans dengan nama alias Oom Hansie — upaya strategisnya menembus audiens kulit putih Afrika Selatan di masa penuh segregasi. Fakta ini jarang dimunculkan dalam liputan global yang hanya menyorot sisi “reggae hitam Afrika”.
Tragedi: peluru di Johannesburg
Pada 18 Oktober 2007, dunia dikejutkan oleh kabar: Lucky Dube ditembak mati dalam peristiwa hijacking di Rosettenville, Johannesburg, saat bersama anak-anaknya. Media internasional menulisnya sebagai “perampokan biasa”. Namun bagi banyak orang Afrika Selatan, tragedi itu mencerminkan lebih dari sekadar kriminalitas — ia adalah simbol rapuhnya keamanan, ketidakadilan sosial yang masih berakar, dan paradoks: seorang musisi yang melawan kekerasan justru tewas oleh kekerasan.
Para pelaku ditangkap dan dihukum, tapi pertanyaan masih menggantung: apakah ia hanya korban salah sasaran, atau ada dimensi lebih kelam di balik pembunuhannya?
Warisan yang tetap hidup
Hingga kini, warisan Lucky Dube tetap terasa. Album kompilasi seperti Retrospective (2008) menjaga nyala musiknya. Di komunitas Aborigin Australia, ia dipuja bak pahlawan. Di Afrika, generasi baru musisi reggae masih menyebut namanya sebagai inspirasi.
Namun, di balik semua penghormatan itu, ada catatan yang tak boleh dilupakan: Lucky Dube bukan sekadar musisi reggae. Ia adalah saksi hidup apartheid, aktivis budaya, penghubung Afrika dengan dunia, dan korban tragis dari kekerasan yang tidak pernah sepenuhnya terjelaskan.
Dengan begitu, warisan Lucky Dube tidak hanya sebatas lirik dan melodi. Ia adalah cermin Afrika Selatan: negeri dengan sejarah luka, semangat perlawanan, dan realitas pahit yang terus menghantui.
(P/A)