Menu

Mode Gelap

Psikologi · 16 Sep 2025 WIB

Mengenal Hoarding Disorder Ketika Menimbun Barang Berubah Menjadi Gangguan Mental Serius


					Mengenal Hoarding Disorder: Ketika Menimbun Barang Berubah Menjadi Gangguan Mental Serius Perbesar

Mengenal Hoarding Disorder: Ketika Menimbun Barang Berubah Menjadi Gangguan Mental Serius

Swapnews.co.id– Di balik tumpukan barang antik tak terpakai, koran usang yang menggunung, hingga ruangan rumah yang sulit dilalui, mungkin tersembunyi masalah kesehatan mental yang jarang disadari masyarakat. Kondisi ini dikenal sebagai Hoarding Disorder atau gangguan menimbun, yaitu gangguan psikologis yang membuat penderitanya mengalami kesulitan ekstrem untuk membuang barang-barang, bahkan yang sudah rusak dan tidak berguna.

Gangguan ini bukan sekadar “hobi mengoleksi” atau sifat hemat, melainkan kondisi serius yang dapat mengganggu fungsi rumah tangga, hubungan sosial, bahkan membahayakan keselamatan fisik. Menurut penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Molecular Psychiatry pada 2024, sekitar 1 hingga 6 persen populasi dunia memenuhi kriteria klinis untuk Hoarding Disorder.

Di Indonesia sendiri, kasus serupa mulai sering terlihat di perkotaan, terutama di lingkungan padat penduduk. Meskipun data spesifik nasional masih terbatas, Kementerian Kesehatan mencatat peningkatan gangguan mental emosional dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, dari 6 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018, yang diduga turut berhubungan dengan perilaku menimbun berlebihan.


Memahami Hoarding Disorder

Hoarding Disorder berbeda dari sekadar kebiasaan menyimpan barang atau koleksi. Menurut definisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), gangguan ini ditandai oleh kesulitan kronis dalam membuang barang, kecemasan yang tinggi saat mencoba menyingkirkan benda, serta penumpukan yang membuat ruangan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.

“Perbedaan mendasar antara kolektor dan penderita hoarding terletak pada fungsi dan keteraturan,” jelas sebuah studi dari Nature. “Kolektor biasanya memilih barang dengan tema tertentu dan merawatnya, sedangkan penderita hoarding menyimpan barang secara acak, tidak terorganisasi, dan sering kali merasa malu untuk menunjukkan kondisi rumahnya.”

Faktor budaya juga turut memengaruhi. Di Indonesia, kebiasaan menyimpan barang lama sering dianggap sebagai bentuk menghargai kenangan atau warisan keluarga. Namun, jika kebiasaan ini berkembang tanpa kontrol, dapat berubah menjadi gangguan yang membahayakan kesehatan.


Gejala yang Perlu Diwaspadai

Ada tiga gejala utama yang menjadi ciri Hoarding Disorder:

  1. Kesulitan membuang barang, bahkan jika barang tersebut jelas-jelas rusak atau tidak berguna.

  2. Akumulasi barang yang berlebihan hingga menghalangi fungsi normal ruangan rumah.

  3. Gangguan pada kehidupan sehari-hari, seperti sulit bergerak di dalam rumah, kebersihan yang buruk, atau risiko kecelakaan dan kebakaran.

Selain itu, penderita sering menunjukkan perilaku membeli barang secara kompulsif atau mengambil barang gratis tanpa kebutuhan yang jelas. Akibatnya, hubungan sosial terganggu karena mereka merasa malu menerima tamu. Dalam banyak kasus, anggota keluarga juga mengalami stres akibat kondisi rumah yang tidak sehat.

Sebuah laporan global yang dipublikasikan oleh Our Mental Health tahun 2024 menyebutkan bahwa di beberapa negara, termasuk Indonesia, perilaku menimbun sering kali tidak dianggap masalah medis, sehingga penderita jarang mendapatkan bantuan profesional. Hal ini membuat kondisi semakin parah seiring waktu.


Faktor Penyebab

Pakar kesehatan mental menyebutkan bahwa Hoarding Disorder muncul karena kombinasi faktor psikologis, biologis, dan lingkungan.

  • Trauma dan kehilangan: Kehilangan orang yang dicintai, pengalaman bencana, atau masa kecil yang penuh ketidakpastian dapat memicu perilaku menyimpan barang sebagai bentuk coping.

  • Kecemasan dan depresi: Penderita sering mengalami kesulitan mengelola emosi, sehingga barang-barang menjadi simbol kenyamanan atau keamanan.

  • Genetik dan faktor otak: Studi terbaru menunjukkan bahwa aktivitas otak penderita berbeda di area yang mengatur pengambilan keputusan dan pengendalian emosi. Bahkan, perilaku menimbun dapat diwariskan dalam keluarga.

  • Faktor sosial dan budaya: Norma sosial yang mendorong orang untuk “menyimpan untuk masa depan” dapat memperkuat perilaku ini, terutama di masyarakat yang pernah mengalami krisis ekonomi.


Dampak Serius bagi Kesehatan dan Sosial

Hoarding Disorder bukan hanya masalah kebersihan atau estetika rumah. Barang yang menumpuk dapat menyebabkan risiko kecelakaan seperti tersandung, kebakaran karena jalur evakuasi tertutup, hingga penyakit akibat sanitasi buruk. Barang-barang yang lembap dan berdebu juga dapat menjadi sarang bakteri, jamur, dan hewan pengerat.

Dari sisi sosial, penderita sering mengalami isolasi karena malu memperlihatkan rumah mereka. Hubungan keluarga juga sering terganggu karena perbedaan pandangan tentang pentingnya barang-barang yang disimpan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan gangguan mental lain seperti depresi berat.

Secara ekonomi, biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang, membersihkan rumah, hingga penanganan medis akibat kondisi ini bisa sangat besar. Di beberapa negara, pemerintah bahkan turun tangan membersihkan rumah penderita hoarding yang dinilai berbahaya bagi lingkungan sekitar.


Penanganan dan Terapi

Hoarding Disorder dapat ditangani, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat. Terapi yang paling umum digunakan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang membantu penderita mengubah pola pikir dan perilaku terkait barang-barang yang mereka simpan. Terapi ini juga mengajarkan keterampilan membuat keputusan dan mengatur barang.

Selain itu, terapi kelompok memberikan dukungan emosional dan motivasi. Dalam beberapa kasus, obat-obatan seperti antidepresan dapat diberikan untuk menangani gangguan pendamping seperti depresi atau kecemasan.

Di Indonesia, penanganan Hoarding Disorder masih menjadi tantangan karena keterbatasan tenaga ahli kesehatan mental. Namun, sejumlah komunitas mulai menggalakkan program edukasi dan konseling, terutama di kota-kota besar. Puskesmas dan rumah sakit jiwa juga mulai menyediakan layanan konsultasi untuk membantu deteksi dini.


Hoarding Disorder adalah masalah nyata yang kerap tersembunyi di balik pintu rumah. Dengan penanganan yang tepat dan kerja sama semua pihak, kondisi ini bukan hanya dapat dikendalikan tetapi juga dicegah.

Swapnews.co.id mengajak pembaca untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental di sekitar kita. Jika menemukan orang yang menunjukkan tanda-tanda hoarding, ajak mereka bicara dengan lembut dan sarankan untuk mencari bantuan profesional. Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan aman bagi semua. (SFS)

Artikel ini telah dibaca 36 kali

Baca Lainnya

Jebakan Kebaikan: Mengapa “Sorry Syndrome” Menjadi Perilaku Maladaptif ?

5 Oktober 2025 - 07:07 WIB

SORRY SYNDROME, ga bisa kalau ga bilang "MAAF"

Kleptomania: Bukan Sekadar Mencuri, Namun Gangguan Pengendalian Impuls yang Serius

29 September 2025 - 02:44 WIB

Mengapa Metode Tidur Skandinavia Adalah Tindakan Cinta yang Paling Pragmatis ?

28 September 2025 - 03:09 WIB

Metode Tidur Skandinavia, tidur dengan selimut terpisah

SKANDAL TIDUR MODERN: Bukan Diganggu Hantu, Mengapa Jantung Jutaan Orang Sering ‘Terjun Bebas’ Saat Mulai Terlelap? Menguak Fakta Ilmiah di Balik Hypnic Jerk

26 September 2025 - 04:14 WIB

SKANDAL TIDUR MODERN: Bukan Diganggu Hantu, Mengapa Jantung Jutaan Orang Sering ‘Terjun Bebas’ Saat Mulai Terlelap? Menguak Fakta Ilmiah di Balik Hypnic Jerk

Mouth Taping, Fakta Atau Risiko Fatal?

24 September 2025 - 07:48 WIB

MOUTH TAPING, FAKTA ATAU RISIKO FATAL?

Fakta Mengejutkan Fenomena Sapioseksual: Kecerdasan Sebagai Sumber Hasrat

21 September 2025 - 08:46 WIB

Sapioseksual: Kecerdasan Sebagai Sumber Hasrat
Trending di Fakta Unik