Swapnews.co.id– Istilah kleptomania merujuk pada sebuah kondisi medis kejiwaan, bukan sekadar tindakan kriminal biasa. Ini adalah sebuah gangguan pengendalian impuls (Impulse Control Disorder) yang ditandai dengan ketidakmampuan berulang untuk menahan dorongan mencuri barang yang biasanya tidak diperlukan untuk penggunaan pribadi dan memiliki nilai moneter yang kecil. Motivasi utama penderita kleptomania bukanlah keuntungan finansial, melainkan untuk meredakan ketegangan dan kecemasan yang mendahului tindakan tersebut. Seringkali, tindakan mencuri ini diikuti oleh rasa lega sesaat yang kemudian digantikan oleh perasaan bersalah, penyesalan, dan malu yang mendalam.
Penting untuk dipahami bahwa kleptomania berbeda secara fundamental dari pencurian yang disengaja. Dalam konteks medis, penderita kleptomania tidak merencanakan aksinya dengan matang dan tidak mencuri untuk memenuhi kebutuhan finansial atau balas dendam. Sebaliknya, mereka didorong oleh lonjakan gairah dan ketegangan yang hanya bisa diredakan melalui tindakan mencuri itu sendiri. Seringkali, barang curian tersebut dibuang, disembunyikan, atau bahkan dikembalikan, menegaskan bahwa objek curian bukanlah tujuan, melainkan proses pencuriannya. Hal ini menjadikan kasus kleptomania memerlukan pendekatan medis dan psikologis, bukan hanya hukuman pidana.
Dampak dari gangguan ini sangat merusak bagi penderitanya. Selain menghadapi konsekuensi hukum yang serius, kleptomania dapat menghancurkan karier, merusak hubungan personal, dan menyebabkan isolasi sosial yang parah akibat rasa malu dan upaya konstan untuk menyembunyikan perilaku kompulsif tersebut. Rasa bersalah yang terus-menerus seringkali memicu komplikasi kejiwaan lain, seperti depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat oleh profesional kesehatan mental, menggunakan kriteria ketat dari DSM-5, sangat krusial untuk membedakannya dari perilaku antisosial.
Pengobatan untuk kleptomania harus berfokus pada akar masalah kejiwaan. Intervensi yang paling umum dan efektif adalah kombinasi dari Terapi Perilaku Kognitif (CBT), yang melatih penderita untuk mengidentifikasi pemicu dan mengendalikan dorongan mereka, dan farmakoterapi, seperti penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), untuk membantu menstabilkan mood dan impuls. Peningkatan kesadaran dan empati publik sangat dibutuhkan agar penderita tidak takut mencari bantuan, sehingga mereka dapat menjalani perawatan yang tepat dan memutus siklus kompulsif yang merusak ini.(S/F/S)