Jakarta, 08/08/2025 | swapnews.co.id – Sebuah drama hukum yang penuh intrik politik dan perdebatan intelektual kembali mencuat ke permukaan publik. Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang baru-baru ini dibebaskan dari jeratan penjara melalui abolisi yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto, kini justru berbalik melawan sistem yang pernah memenjarakannya. Tindakan Lembong yang melaporkan tiga hakim kasusnya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memicu polemik, apakah ini sebuah tindakan heroik untuk menegakkan keadilan atau sekadar balas dendam politis?
Perbincangan hangat mengenai isu ini terungkap dalam sebuah diskusi mendalam bersama pakar hukum terkemuka, Refli Harun dan Prof. Gayus Lumbun. Menurut Refli Harun, langkah Lembong melaporkan para hakim bukanlah bentuk ketidak-berterimakasihan atas pembebasannya, melainkan sebuah upaya korektif terhadap sistem hukum yang dianggapnya “sesat.” Harun menyoroti kejanggalan dalam putusan hakim, di mana unsur kerugian negara sebagai inti dari kasus korupsi, terus berubah-ubah. Bahkan, putusan tersebut dinilai memasukkan argumen yang tidak relevan, seperti preferensi Lembong terhadap “ekonomi kapitalis” yang dianggap bertentangan dengan “ekonomi Pancasila”—sebuah narasi yang sarat dengan muatan ideologis, bukan substansi hukum.
Namun, di tengah pujian terhadap keberanian Lembong, Prof. Gayus Lumbun memberikan perspektif yang berbeda. Ia berpendapat bahwa putusan hakim adalah produk dari pertimbangan hukum, dan seharusnya tidak dilaporkan kecuali ada pelanggaran kode etik. Perdebatan ini menggarisbawahi dilema fundamental dalam sistem peradilan: di mana batasan antara kritik terhadap substansi putusan hukum dan pelanggaran etika hakim?
Abolisi yang diberikan oleh Presiden Prabowo sendiri bertujuan untuk menghentikan proses hukum demi menjaga stabilitas negara, sebuah langkah yang dinilai bijaksana oleh Prof. Gayus Lumbun. Namun, bagi Refli Harun, abolisi ini justru menjadi preseden penting yang menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam penanganan kasus Lembong. Harun mengisyaratkan adanya intervensi politik yang menekan para hakim dan jaksa, menegaskan bahwa mereka seharusnya bertanggung jawab atas putusan yang tidak adil, terlepas dari tekanan yang ada.
Diskusi ini juga berhasil mengupas perbedaan krusial antara abolisi dan amnesti. Harun menjelaskan bahwa abolisi menghapus tindak pidana seolah-olah tidak pernah terjadi, sementara amnesti hanya memberikan pengampunan atas suatu tindak pidana. Abolisi yang diterima Lembong secara efektif membersihkan namanya dari catatan kriminal. Namun, di saat yang sama, langkahnya melaporkan para hakim memastikan bahwa babak baru dalam pertarungan hukum ini belum berakhir.
Kasus ini menjadi cerminan nyata bahwa di balik layar kekuasaan, keadilan seringkali menjadi komoditas yang diperebutkan. Tindakan Lembong, apakah itu dilandasi oleh idealisme atau dendam, telah membuka celah untuk mengkritisi integritas dan independensi peradilan di Indonesia. Publik, dan khususnya pembaca Swapnews.co.id, kini menanti dengan cemas bagaimana kelanjutan dari drama hukum ini, dan apakah akhirnya kebenaran akan menemukan jalannya di antara labirin kekuasaan dan politik.
(F/S)