MEDAN. swapnews.co.id – Di tengah masyarakat, masih banyak anggapan bahwa anak yang hiperaktif, sulit konsentrasi, dan impulsif hanyalah kurang didikan atau sekadar “nakal”. Padahal, sangat mungkin bahwa ia mengidap Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), suatu kondisi neurodevelopmental kompleks yang memerlukan pemahaman dan penanganan tepat, bukan sekadar hukuman atau cercaan.
ADHD bukanlah penyakit menular atau hasil dari pola asuh yang buruk. Ilmu pengetahuan modern, melalui pencitraan otak, telah menunjukkan bahwa ADHD berkaitan dengan perbedaan struktur dan kimiawi otak, khususnya pada neurotransmitter seperti dopamin dan norepinefrin yang memengaruhi perhatian, motivasi, dan kontrol impuls. Ini menjadikan ADHD sebagai kondisi medis yang nyata, sama seperti kondisi kesehatan lainnya.
Gejala ADHD umumnya terbagi dalam tiga tipe utama: predominan inattentif (sulit memusatkan perhatian), predominan hiperaktif-impulsif, dan tipe kombinasi. Penderitanya sering kali bergumul dengan hal-hal sederhana seperti menyelesaikan tugas, mengatur waktu, atau duduk tenang. Perilaku ini sering disalahartikan sebagai kemalasan atau ketidaktertiban, yang pada akhirnya memperparah rasa frustasi dan rendah diri yang dialami pengidapnya.
Dampak ADHD tidak hanya terasa di ruang kelas, tetapi merambah ke seluruh aspek kehidupan. Mulai dari kesulitan dalam membina hubungan sosial, tantangan dalam dunia kerja, hingga peningkatan risiko kecelakaan dan masalah finansial di usia dewasa. Tanpa diagnosis dan dukungan yang memadai, individu dengan ADHD berisiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan penyalahgunaan zat terlarang.
Diagnosis ADHD memerlukan proses assessment yang komprehensif oleh tenaga profesional, seperti psikiater atau psikolog klinis. Prosesnya melibatkan wawancara mendalam, observasi perilaku, serta kuesioner yang melibatkan individu, keluarga, dan sekolah. Penting untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi lain yang memiliki gejala mirip, seperti gangguan kecemasan atau gangguan belajar.
Kabar baiknya, ADHD adalah kondisi yang sangat dapat dikelola. Penanganannya bersifat multidisiplin, menggabungkan psikoedukasi (edukasi untuk pasien dan keluarga), terapi perilaku, pelatihan keterampilan organisasi, dan jika diperlukan, obat-obatan yang telah terbukti efektif menyeimbangkan kimia otak. Pendekatan ini bukan untuk “menyembuhkan” ADHD, tetapi untuk memberdayakan pengidapnya agar dapat menjalani hidup secara produktif dan memenuhi potensinya.
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang ADHD adalah langkah krusial. Dengan mengurangi stigma dan menyebarkan informasi yang akurat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif—baik di sekolah, tempat kerja, maupun di rumah—di mana setiap individu dengan ADHD mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang, bukan dihakimi atas kondisi yang tidak mereka pilih untuk dimiliki. (SFS)