“No, Mr Bond, I expect you to not score or assist in your first seven Premier League appearances.”
Jakarta, swapnews.co.id – Kalimat sindiran itu kini menggema di dunia maya, menampar telinga Florian Wirtz — bintang muda Jerman yang baru memulai misi barunya di tanah Inggris.
Dalam kultur sepak bola digital, istilah “007” tak lagi identik dengan agen rahasia Inggris, melainkan sindiran bagi pemain yang gagal mencetak gol maupun assist dalam tujuh laga pertama bersama klub barunya. Dan kini, giliran Wirtz yang mengenakan tuksedo ejekan itu.
Didatangkan Liverpool dari Bayer Leverkusen dengan mahar fantastis £116 juta atau sekitar Rp2,9 triliun, sang playmaker belum mampu menorehkan kontribusi langsung dalam enam laga perdananya di Premier League. Laga ketujuh—dan mungkin penentu—akan berlangsung akhir pekan ini di Stamford Bridge, markas Chelsea.
⚽ Dari Meme Jadi Tradisi: Asal-usul “007”
Bagi para penghuni Twitter (atau X), ejekan “007” sudah jadi ritual tahunan. Namun, tak banyak yang tahu bahwa istilah ini berawal dari siaran Sky Sports Jerman pada 2021, ketika mereka menampilkan Jadon Sancho dalam pose James Bond, lengkap dengan tag “007”, setelah gagal mencetak gol maupun assist di tujuh laga awalnya bersama Manchester United.
Kini, tradisi itu hidup kembali — dengan korban baru tiap musimnya.
🕰️ Belajar dari Mereka yang Lambat Panas

Gelandang muda Jerman, Florian Wirtz, kini menjadi bagian dari Liverpool mulai musim 202526
Andai media sosial sudah sekejam sekarang di akhir 1990-an, Thierry Henry pun mungkin takkan lepas dari ejekan serupa.
Pada 1999, sang legenda muda Arsenal itu butuh waktu adaptasi sebelum akhirnya mencatat 175 gol, 74 assist, dan status top skor sepanjang masa klub.
Begitu pula Matheus Cunha di Wolves. Ia sempat “mati gaya” di awal, sebelum menemukan ritmenya di Premier League. “Ini liga paling intens di dunia. Butuh waktu untuk beradaptasi,” ujarnya kala itu.
Menurut data SkillCorner, Premier League memang punya intensitas sprint tertinggi dibanding liga top Eropa lain seperti La Liga, Bundesliga, atau Serie A. Tak heran, Wirtz terlihat masih menyesuaikan diri.
Pelatih Arne Slot bahkan sempat bercanda seusai laga kontra Arsenal:
“Saya rasa, dia baru sadar kalau bisa kena kram di delapan bagian tubuh yang berbeda.”
🤝 Soal Ritme, Chemistry, dan Tekanan
Adaptasi tak hanya soal tempo permainan. Ia juga soal chemistry — memahami pergerakan dan intuisi rekan baru.
Wirtz kini harus sinkron dengan lini depan Liverpool yang juga dalam masa transisi, termasuk dua rekrutan mahal lain: Hugo Ekitike dan Alexander Isak.
Butuh waktu bagi orkestra baru ini untuk memainkan simfoni yang harmonis.
🎬 Dari James Rodriguez hingga “Licence to Chill”

Penyerang Everton asal Kolombia itu memimpin daftar pesepak bola dengan pengikut Instagram terbanyak di negaranya, mencapai 46,5 juta.
Tak semua pemain gagal di awal. Ada Erling Haaland, Diego Costa, hingga Sergio Agüero, yang langsung “panas” sejak debut — mencetak lebih dari satu gol per laga. Tapi sejarah juga mencatat pemain yang bersinar sekejap lalu padam, seperti Papiss Cissé, Amr Zaki, atau Michu.
Dan di antara semua nama, James Rodriguez mungkin yang paling cocok disandingkan dengan Bond.
Setelah jadi bintang Piala Dunia 2014, ia dijuluki “The name is Bond, James Rodriguez”. Namun ketika bergabung dengan Everton pada 2020, performanya yang eksplosif di tujuh laga pertama tak berumur panjang.
💬 Refleksi: Antara Lelucon dan Tekanan Digital
Fenomena “007” mungkin terlihat lucu di permukaan, tapi efeknya nyata: menurunkan kualitas diskusi sepak bola.
Alih-alih analisis taktis atau sabar menunggu proses, dunia maya kini lebih cepat menempelkan label “flop”.
Padahal, adaptasi lintas liga dan budaya tak bisa diukur dalam minggu-minggu awal.
Wirtz masih muda, cerdas, dan punya visi permainan luar biasa. Ia tak memerlukan “Licence to Kill” — cukup “Licence to Chill.”
Karena dalam sepak bola, seperti dalam hidup, start lambat bukan tanda kegagalan.
Sering kali, itu justru awal dari perjalanan menuju keabadian.