JAKARTA. Swapnews.co.id – Generasi 90-an tentulah mengenal sosok ini. Vokalis dan bassist band Endank Soekamti. Dia putus sekolah gara-gara tidak akur dengan Bu Soekamti, guru SMK-nya. Erix Soekamti adalah pendiri sekaligus pemilik dari DOES University
Tapi dia berhasil mengubah kebencian menjadi cinta yang bijaksana. Setelah dikeluarkan dari sekolah, Erix asyik main band saja sama teman-temannya. Grup mereka itu dinamakan sesuai nama Bu Guru yang mengusirnya. “Kalau bukan karena Bu Guru, mungkin kami tidak bisa seperti sekarang,” kenang Erix.
Untuk membayar kesalahannya di masa sekolah, Erix Soekamti menyisihkan sebagian penghasilannya sebagai CSR untuk membangun sebuah kampus unik yang dicita-citakannya (DOES University). Di dalamnya, para anak asuh dibiarkan berkembang sesuai dengan talenta masing-masing. Mereka bebas merancang apa yang disukainya sepanjang dilakukan secara bertanggung jawab, memberikan nilai pada diri dan masyarakatnya, dan memperkuat karakternya.
Mendirikan kampus ini, DOES University, adalah bentuk balas dendam Erix terhadap masa lalunya. Suatu balas dendam yang indah. Yang teramat sulit dilakukan.
Hampir semua mahasiswa di DOES University pernah mengantongi kartu tanda kemiskinan. Sebagian di antara mereka berasal dari keluarga yang broken home. Anak-anak itu sebenarnya mencari tempat bernaung yang lebih baik dari “rumah”, dan mereka beruntung menemukan DOES.
Saat ini, para alumni DOES yang sudah mencapai 9 generasi, tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian menjadi pekerja profesional di studio-studio ternama, sebagian membangun usahanya sendiri. Bila Anda adalah salah seorang yang pernah menonton film animasi “Jumbo” yang mencetak jumlah penonton film tertinggi di Indonesia, maka perlu diketahui bahwa 5 orang dari animatornya adalah alumni DOES, termasuk direktur kreatifnya.
Banyak proyek dari berbagai negara, termasuk film-film Hollywood, yang mereka turut menggarap animasinya, meskipun masih dibayar secara amatir dan tidak dicantumkan namanya. Mereka bekerja dengan cara-cara global, borderless, dan didasarkan pada saling percaya. Inilah dunia baru yang dibentuk oleh sebuah masyarakat yang belum kita pahami idealismenya. Mereka mengubah hubungan sosial dari yang sebelumnya didasari saling curiga menjadi masyarakat yang saling terhubung. Mereka membangun platform-platform untuk memperantarai urusan kontrak, bisnis, dan berbagai kesepakatan yang dipenuhi secara sistemik.
Saya tidak tahu banyak tentang dunia yang mereka geluti ini. Dan saya memuji kemampuan Erix dalam menangkap visi dunia baru. Salah seorang anak saya telah menjadi bagian komunitas DOES yang “mandiri dalam bekerja, merdeka dalam berkarya”. Dia ikut dalam proses kolektif untuk menghadapi masalah-masalah mereka, dan terlibat dalam pengambilan risikonya.
Saya bangga karena dia tidak di sana untuk menikmati suatu hasil yang telah disiapkan orang lain. Tapi menjadi (to be) bagian dari masalah itu dan berproses dengannya tanpa mengambil jarak atau sudut pengamatan. Dalam Bahasa Inggris, “does” adalah tindakan. Mereka diminta untuk bertindak. Dimulai dengan kemandirian dirinya, kemudian memberikan kontribusi pada lingkungannya. Adakah sekolah seperti ini?
Tidak banyak orang yang bisa seperti Erix. Sebab kalau banyak, bisa dipastikan selesailah masalah negeri ini. 🙂 (YSM)