swapnews.co.id – Wacana Undang-Undang Perampasan Aset kembali menjadi perbincangan hangat di ruang publik Indonesia. Isu ini mencuat bersamaan dengan meningkatnya kasus korupsi, pencucian uang, hingga praktik mafia tanah dan narkotika yang semakin merugikan negara. Pertanyaan mendasar pun muncul: Apa sebenarnya Perampasan Aset itu? Mengapa penting? Dan siapa saja yang berperan dalam pembentukan undang-undangnya?
Apa Itu Perampasan Aset?
Perampasan aset adalah mekanisme hukum untuk menyita atau mengambil alih kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana, meskipun pemiliknya belum diputus bersalah di pengadilan. Konsep ini dikenal dengan non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan negara menyita harta hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana yang memakan waktu panjang.
Artinya, jika ada pejabat, pengusaha, atau siapa pun yang tidak bisa membuktikan asal-usul kekayaannya secara sah, maka aset itu bisa dirampas oleh negara. Bukan hanya rumah mewah dan mobil mewah, tapi juga rekening bank, tanah, hingga saham perusahaan.
Mengapa Penting Bagi Indonesia?
Indonesia saat ini menghadapi situasi darurat korupsi. Data KPK menunjukkan, kerugian negara akibat praktik rasuah mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Banyak uang hasil korupsi mengalir ke luar negeri atau diparkir dalam bentuk aset yang sulit dijangkau aparat penegak hukum.
UU Perampasan Aset diharapkan menjadi senjata pamungkas untuk:
-
Memulihkan kerugian negara akibat korupsi dan kejahatan ekonomi.
-
Memutus mata rantai mafia di sektor narkotika, tambang ilegal, hingga perdagangan manusia.
-
Meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang selama ini dianggap tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Singkatnya, UU ini akan memastikan keadilan tidak hanya berhenti pada vonis penjara, tapi juga mengembalikan harta hasil kejahatan untuk rakyat.
Bagaimana Proses Membuat Undang-Undang Ini?
Pembuatan UU di Indonesia mengikuti jalur panjang dan berliku. Berikut alurnya:
-
Inisiatif Pemerintah atau DPR – Presiden melalui Kementerian Hukum dan HAM, atau DPR melalui Badan Legislasi (Baleg), mengusulkan RUU.
-
Penyusunan Naskah Akademik – Dokumen ilmiah yang menjelaskan dasar, urgensi, dan manfaat RUU.
-
Masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) – Daftar prioritas undang-undang yang akan dibahas.
-
Pembahasan di DPR – Melibatkan komisi terkait (misalnya Komisi III bidang hukum).
-
Pansus (Panitia Khusus) – Dibentuk jika isu besar dan membutuhkan konsentrasi khusus.
-
Hearing Publik – Mengundang pakar, LSM, masyarakat sipil, dan akademisi.
-
Pengesahan RUU menjadi UU – Melalui sidang paripurna DPR dan tanda tangan Presiden.
Namun, dalam praktiknya, alur ini sering terganjal tarik-menarik kepentingan politik. Banyak pihak yang merasa terancam dengan UU ini, terutama para elite yang diduga memiliki kekayaan tak wajar.
Siapa yang Akan Diuntungkan?
UU Perampasan Aset dibuat bukan untuk pejabat atau elite, tapi untuk rakyat Indonesia. Dengan pengembalian aset hasil korupsi dan kejahatan, negara bisa membiayai pembangunan sekolah, rumah sakit, hingga infrastruktur tanpa harus menambah utang.
Masyarakat luas akan merasakan manfaatnya, sementara koruptor, mafia, dan pejabat nakal justru berada di ujung tanduk.
Siapa Saja yang Terlibat?
Dalam kondisi Indonesia yang penuh gejolak politik, beberapa aktor penting terlibat dalam polemik ini:
-
Pemerintah: Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung.
-
DPR RI: Khususnya Komisi III dan Badan Legislasi.
-
KPK: Sebagai lembaga antirasuah, KPK mendesak agar UU ini segera disahkan.
-
Polri & PPATK: Memiliki data transaksi mencurigakan yang bisa jadi dasar perampasan.
-
LSM & Akademisi: ICW, Transparency International Indonesia, hingga kalangan kampus, mendukung penuh agar UU ini segera berlaku.
Namun di sisi lain, oknum politisi dan pengusaha besar justru terlihat enggan. Mereka khawatir UU ini akan membongkar harta-harta tersembunyi yang selama ini tak terjamah hukum.
Hambatan dan Ricuhnya Situasi
Isu perampasan aset muncul di tengah kondisi bangsa yang ricuh: demo mahasiswa, ketidakpercayaan publik pada lembaga hukum, hingga krisis ekonomi global. Sebagian kalangan menduga, penundaan pengesahan UU ini bukan semata masalah teknis, tapi karena ada kepentingan besar yang ingin menghalanginya.
Pertanyaan publik pun semakin keras: Apakah DPR berani melawan mafia dan mengesahkan UU Perampasan Aset? Atau justru tunduk pada tekanan politik di balik layar?
(F/S)