Shanghai, 23/07/2025 | Swapnews.co.id — Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China kembali memakan korban: Amazon resmi menutup laboratorium kecerdasan buatan (AI) miliknya di Shanghai, yang sebelumnya menjadi pusat pengembangan teknologi canggih sejak 2018.
Keputusan ini diumumkan setelah berbagai perusahaan teknologi asal AS, seperti IBM dan Microsoft, mengambil langkah serupa: membatasi atau bahkan menutup aktivitas riset dan pengembangan (R&D) mereka di daratan China. Langkah ini semakin mempertegas bahwa era kolaborasi ilmiah lintas negara kini berada di bawah bayang-bayang konflik politik.
Penutupan tersebut dikonfirmasi oleh Wang Minjie, ilmuwan senior di lab AWS Shanghai, yang dalam pernyataan emosionalnya di WeChat menyebutkan bahwa timnya dibubarkan karena “penyesuaian strategi di tengah ketegangan AS–China”.
“Selama enam tahun, saya memimpin tim ini di masa keemasan laboratorium riset asing di China. Kini, semuanya harus berakhir karena faktor politik,” tulis Wang.
Laboratorium ini dikenal luas atas kontribusinya dalam mengembangkan framework open-source untuk jaringan saraf berbasis graf (graph neural networks), yang diklaim menghasilkan hampir $1 miliar pendapatan untuk Amazon.
Namun, tak ada teknologi secanggih apapun yang mampu bertahan dari tekanan geopolitik. Pemerintah AS terus memperketat ekspor chip dan layanan cloud ke China, dengan dalih keamanan nasional dan dominasi teknologi strategis. Hasilnya: kerja sama riset yang dulu dibanggakan kini runtuh satu per satu.
Amazon sendiri saat ini tengah melakukan pemangkasan global di berbagai unit, seiring dengan peringatan CEO Andy Jassy bahwa adopsi AI akan menggantikan banyak pekerjaan dalam waktu dekat.
“Kami harus mengambil keputusan sulit untuk memangkas beberapa peran dalam tim AWS,” ujar juru bicara Amazon, Brad Glasser, Rabu lalu. “Langkah ini diperlukan agar kami dapat terus berinvestasi dan mengoptimalkan sumber daya.”
Tak disebutkan secara pasti jumlah korban PHK di Shanghai. Namun AWS pernah memiliki lebih dari 1.000 karyawan di China. Di sisi lain, Amazon masih mempekerjakan lebih dari 10.000 staf di negara tersebut per 2022, terutama untuk melayani perusahaan multinasional dan klien global dari Tiongkok.
Langkah Amazon ini juga mengingatkan publik pada keputusan sebelumnya: penutupan toko ebook di China pada 2023, menyusul penarikan diri dari pasar e-commerce di tahun 2019 akibat persaingan ketat dengan Alibaba dan Pinduoduo.
Kini, dunia menatap masa depan riset global dengan tanda tanya besar:
Apakah sains dan teknologi akan terus menjadi korban utama dalam rivalitas dua adidaya dunia?
Ataukah akan ada jalan tengah di mana kolaborasi tetap bisa bertahan tanpa harus tunduk pada ambisi politik?
Editor: Redaksi Internasional Swapnews.co.id
Sumber: Financial Times | Alih bahasa dan penyesuaian: Swapnews.co.id