Menu

Mode Gelap

Entertainment · 18 Sep 2025 WIB

Bob Marley: Legenda Reggae, Dosa Asmara, dan Rahasia Hidup yang Disembunyikan Dunia


					Bob Marley: Legenda Reggae, Dosa Asmara, dan Rahasia Hidup yang Disembunyikan Dunia Perbesar

Bob Marley: Lebih dari Sekadar Musik

 

Nama Bob Marley kerap dipandang sebatas ikon reggae, ganja, dan pesan cinta-damai. Namun, kehidupan pribadi sang legenda ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar stereotip yang terus diglorifikasi media. Dari dilema identitas rasial, spiritualitas Rastafari, hingga keputusan medis yang merenggut hidupnya—Marley adalah sosok yang penuh kontradiksi, dan justru itulah yang membuatnya abadi.

 

 


 

Anak “Campuran” yang Tersisih

 

Bob lahir pada 6 Februari 1945 di Nine Mile, Jamaika. Ayahnya, Norval Sinclair Marley, adalah seorang perwira Inggris kulit putih berusia lebih dari 60 tahun. Ibunya, Cedella Booker, baru berusia 18 tahun.

 

Pernikahan itu singkat. Norval jarang hadir, meninggalkan Bob kecil tumbuh dalam stigma sosial. Ia kerap dipanggil half-caste—istilah peyoratif bagi keturunan campuran—dan teralienasi dari dua dunia: ia bukan sepenuhnya hitam, juga bukan sepenuhnya putih.

 

“Sejak kecil, Bob sering berkata bahwa ia tidak punya warna. Ia hanya manusia,” kenang salah satu tetangganya di Nine Mile.

 

Rasa keterasingan inilah yang menanamkan akar pandangan humanis Marley: bahwa perbedaan warna kulit hanyalah ilusi. Pandangan itu kelak menjelma menjadi lirik-lirik yang menggetarkan dunia.

 

 


 

“Duppy Conqueror”: Anak Mistis dari Nine Mile

 

Jarang diketahui publik, Marley sejak kecil dianggap memiliki kemampuan spiritual. Orang-orang desa meyakini ia bisa melihat makhluk gaib. Julukannya: duppy conqueror—penakluk roh jahat.

 

Kisah ini kemudian membentuk lapisan mistis dalam musiknya. Lagu-lagunya bukan sekadar alunan reggae, melainkan doa, nubuat, bahkan mantra perlawanan. Dari “Exodus” hingga “Redemption Song,” Marley menulis seakan ia tengah berbicara dengan dunia tak kasat mata.

 

 


 

Rastafari: Jalan Hidup, Bukan Tren

 

Bagi Marley, Rastafari bukan sekadar label gaya hidup atau mode di era 70-an. Ia memeluknya sebagai jalan hidup penuh.

 

Ia vegetarian, menghindari alkohol, dan menjadikan ganja (herb) sebagai medium spiritual.

 

Ia percaya pada nubuat Ethiopia, memuja Kaisar Haile Selassie I sebagai representasi Tuhan di bumi.

 

Ia bahkan menolak perawatan medis modern ketika terdiagnosis kanker, karena tubuh dianggap suci, “kuil Jah.”

 

 

Marley sering berkata: “Herb adalah penyembuhan bangsa. Alkohol adalah kehancuran.”

 

Pandangan inilah yang menjadikan Marley bukan sekadar musisi, tapi juga nabi bagi jutaan Rastafarian di seluruh dunia.

 

 


 

Asmara Rumit: Cinta yang Dimiliki Dunia

 

Bob menikah dengan Rita Anderson pada 1966, sebelum tur ke Amerika Serikat. Namun, cinta mereka jauh dari monogami.

 

Marley memiliki hubungan dengan banyak perempuan. Tercatat resmi memiliki 11 anak dari 7 perempuan berbeda, tetapi desas-desus menyebut jumlahnya lebih banyak.

 

Rita sendiri pernah mengaku:

“Bob adalah milik dunia. Aku tahu itu sejak awal. Aku mencintainya, tapi aku tidak bisa memilikinya sendirian.”

 

Meski penuh luka, Rita tetap berdiri di samping Marley, bahkan ketika dunia tahu suaminya memiliki kekasih lain. Hubungan mereka adalah bentuk kompromi antara cinta, pengorbanan, dan takdir.

 

 


 

Peluru yang Tidak Menghentikan Musik

 

Tahun 1976, Jamaika berada di ambang perang saudara politik. Marley berencana menggelar konser “Smile Jamaica” untuk menyerukan perdamaian. Namun dua hari sebelum konser, rumahnya diserang orang bersenjata.

 

Marley, Rita, dan manajernya terluka. Namun pada malam konser, Marley tetap naik panggung.

 

Ia berkata dengan tenang:

“Orang-orang yang mencoba membuat dunia lebih buruk tidak pernah berhenti. Jadi kenapa aku harus berhenti?”

 

Adegan itu memperkuat mitos Marley bukan hanya sebagai musisi, tapi juga martir politik yang tak pernah mengibarkan bendera partai, namun selalu membawa panji perdamaian.

 

 


 

Diagnosis yang Mengubah Segalanya

 

Pada 1977, Marley jatuh saat bermain sepak bola—hobinya yang lain selain musik. Pemeriksaan medis mengungkap kanker kulit ganas (acral lentiginous melanoma) di jari kakinya.

 

Dokter menyarankan amputasi, namun Marley menolak. Rastafari melarang pemotongan tubuh. Baginya, amputasi berarti melanggar keutuhan kuil Tuhan. Ia memilih pengobatan alternatif, sambil tetap tur keliling dunia.

 

Penyakit itu menyebar. Pada 1980, ia jatuh pingsan saat jogging di Central Park, New York. Dunia mulai tahu bahwa Marley sekarat. Namun ia tetap tampil di panggung, termasuk di konser legendarisnya di Pittsburgh—konser terakhirnya.

 

11 Mei 1981, di usia 36 tahun, Marley menghembuskan napas terakhir di Miami. Kata-kata terakhirnya kepada putranya, Ziggy, begitu sederhana namun abadi:

“Money can’t buy life.”

 

 


 

Sepak Bola: Obsesinya yang Jarang Dibahas

 

Jika musik adalah jiwa Marley, maka sepak bola adalah tubuhnya. Ia selalu membawa bola ke mana pun, bermain dengan teman band, kru, bahkan wartawan.

 

“Bermain bola sama seperti bermain musik,” katanya suatu kali. “Keduanya tentang ritme, kebebasan, dan kerja sama.”

 

 


 

Warisan yang Penuh Pertikaian

 

Kematian Marley tidak mengakhiri kontroversi. Karena tidak meninggalkan wasiat—selaras dengan keyakinan Rastafari yang menolak konsep kepemilikan pribadi—harta dan hak cipta Marley diperebutkan.

 

Perang hukum berkepanjangan antara keluarga, perusahaan rekaman, dan pihak ketiga mewarnai warisannya. Ironisnya, pria yang menolak materialisme justru meninggalkan nama yang kini menjadi merek dagang multimiliar dolar.

 

 


 

Bob Marley: Nabi, Martir, atau Manusia Biasa?

 

Hidup Bob Marley adalah paradoks:

 

Ia menyerukan cinta, tapi menjalani asmara rumit.

 

Ia menolak kekerasan, tapi hidup di tengah peluru.

 

Ia menolak amputasi demi keyakinan, tapi keputusan itu merenggut hidupnya lebih cepat.

 

 

Namun justru kontradiksi inilah yang membuat Marley tetap relevan. Ia bukan malaikat tanpa cela, tapi manusia dengan dosa dan kebijaksanaan. Seorang pria yang hidupnya singkat, namun meninggalkan gema yang tak terbatas.

 

Hingga kini, setiap kali lagu “One Love” berkumandang, dunia seakan diingatkan bahwa Bob Marley bukan sekadar legenda musik. Ia adalah simbol perlawanan, spiritualitas, dan persatuan yang disembunyikan di balik stereotype.

 

(P/A)

Artikel ini telah dibaca 28 kali

badge-check

Jurnalis

Baca Lainnya

House of David Season 2: Serial Religi yang Jadi ‘Game of Thrones’-nya Alkitab, Picu Perdebatan Penonton Dunia!

7 Oktober 2025 - 10:07 WIB

House of David Season 2 Prime Video Release Schedule

AI Membunuh Bahasa Pemrograman? Python Bertahan, JavaScript Terpuruk di 2025!

7 Oktober 2025 - 01:58 WIB

Bahasa pemrograman 2025, dominasi Python, kejatuhan JavaScript, dan ancaman AI terhadap coding tradisional.

Bryan Mbeumo: Rekrutan yang Diam-Diam Menyelamatkan Manchester United dari Krisis

7 Oktober 2025 - 00:49 WIB

Pelatih kepala Manchester United asal Portugal, Ruben Amorim

Florian Wirtz dan Kutukan ‘007’: Agen Gagal Liverpool atau Calon Legenda yang Terlambat Panas?

7 Oktober 2025 - 00:26 WIB

Era Baru di Anfield Florian Wirtz, Sang Arsitek Masa Depan Liverpool

Pemuda 20 Tahun Asal Singapura Gasak 4.100 Bitcoin! Gaya Hedon, Borong Puluhan Supercar hingga Bikin FBI Geleng Kepala

6 Oktober 2025 - 12:47 WIB

Kasus pencurian 4.100 Bitcoin oleh Malone Lam

Saat Batik Bicara Lewat Irama dan Gerak: Kolaborasi Budaya, Mode, dan Semangat Muda di Panggung Denpasar

5 Oktober 2025 - 10:52 WIB

Trending di Budaya